ilustrasi |
"Seolah menjadi saksi bisu yang merekam aktivitas masyarakat Palas masa lampau. Bangunan yang mendapat julukan “temple in the jungle” oleh para peneliti Belanda di sekitar tahun 1930-an itu juga menyisakan jejak aktivitas modern yang ternyata “salah kaprah” bahwa di dalamnya ada harta karun terpendam," kata Ketua Peneliti dari Akreologi Sumut Andri Restiyadi MA," ujarnya Senin (5/11/2018).
Di lokasi sekitar bangunan Biaro candi terdapat lubang besar sedalam 3 meter, dengan panjang 5 meter serta lebar 2 meter pada tubuh bangunan sisi selatan menjadi bukti kerakusan oknum yang haus akan harta masa lampau.
Monumen di Biaro candi digali secara liar sekitar tahun 2000-an, sehingga menyebabkan bangunan tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah.
“Waktu menggalinya di lokasi Biaro candi ini kami tidak tahu,” ungkap Ali sebagai juru pelihara biara.
Dirinya mendapat laporan dari penggarap sawit tentang penggalian liar.
"Kami ke lokasi, ternyata udah ada lubang besar di situ,” ungkapnya sembari menunjuk ke arah lubang bekas galian liar tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Tim Balai Arkeologi Sumatera Utara, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dipimpin Ketua penelitinya Andri Restiyadi, MA.
Melakukan penelitian atau riset mulai 21 Oktobe sampai 9 Novermber 2018 ini mengadakan penelitian arkeologis di Kompleks Biara Sangkilon, Kabupaten Palas.
Pada penelitian itu, UPT yang memiliki wilayah kerja lima Provinsi melingkupi Provinsi Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat) melibatkan stakeholders dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Padang Lawas, tokoh adat, dan masyarakat setempat.
"Pelibatan masyarakat sekitar dalam kegiatan dirasakan cukup penting, selain sebagai media pendidikan dan sosialisasi tentang kesadaran pelestarian cagar budaya, juga diharapkan, agar tidak terjadi kecurigaan terhadap upaya perburuan harta karun pada aset mereka," terang Andri.
Kata Andri, selain dilakukan dengan cara ekskavasi, penelitian yang bertopik arkeologi lansekap, juga disertai dengan survei, pemetaan terestrial dan foto udara menggunakan drone (pesawat tanpa awak) serta wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat terkait dengan pemanfaatan lahan di sekitar biara.
Pada penelitian itu, lanjut Ketua Peneliti dari Arkeologi Sumut, lebih 7 kotak ekskavasi dengan ukuran bervariasi 2 x 2 m, 4 x 4 m, sampai 4 x 6 meter telah dibuka, tersebar di dua lokasi berbeda yang dikodekan dengan sektor II dan IV, dan V.
Adapun tujuannya, tambah dia, untuk penelitian mengetahui relasi antar kompleks bangunan utama dengan bangunan-bangunan di sekitarnya, juga terhadap lingkungan alam, dan perubahan lahan hasil aktivitas pemanfaatan manusia.
Senjalan dengan kegiatan tersebut, Balai Arkeologi Sumatera Utara, di penelitian tahun 2018 ini juga dilakukan diskusi dan sinkronisasi misi, visi terhadap upaya pelestarian dan pengelolaan tinggalan budaya yang terdapat di kawasan Padang Lawas.
"Kegiatan tersebut melibatkan Bupati Palas H.Ali Sutan Harahap (TSO), Ketua Adat, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Padang Lawas," ungkapnya. (sumber)
Advertisement