Pemerintah Suriah hingga kini terus menyuarakan integrasi wilayah yang dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF Kurdi) dan Administrasi Otonom-nya di timur laut. Pernyataan resmi kerap menegaskan bahwa daerah tersebut bagian yang sah dari Republik Arab Suriah. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada perubahan berarti dalam status wilayah itu.
Situasi ini mengingatkan pada pola klaim Tiongkok terhadap Taiwan. Sejak tahun 1949, Beijing konsisten menyebut Taiwan sebagai provinsinya, meski Taipei memiliki pemerintahan sendiri dan dukungan internasional terbatas namun signifikan. Retorika keras terus bergema, tetapi realitas politik tetap bertahan tanpa penyelesaian.
Kesamaan utama kedua kasus ini adalah penggunaan bahasa ultimatum dan klaim kedaulatan. Damaskus menyebut akan “mengembalikan wilayah timur laut” suatu hari nanti. Beijing menyatakan “penyatuan kembali” dengan Taiwan tidak bisa dihindari. Dua pernyataan ini memperlihatkan komitmen politik yang konsisten, meski pelaksanaan di lapangan tak kunjung terwujud.
Di Suriah, SDF Kurdi tetap menguasai sebagian besar wilayah timur laut dengan dukungan Amerika Serikat. Pasukan AS yang masih bertahan di wilayah kaya minyak membuat Damaskus tidak bisa berbuat banyak selain mengeluarkan pernyataan simbolis. Upaya negosiasi pun tidak berbuah hasil konkret.
Di sisi lain, Taiwan memiliki dukungan yang juga kuat dari Washington, meski dalam bentuk yang berbeda. AS memang tidak secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara, tetapi memberikan jaminan keamanan dan suplai senjata. Situasi ini membuat klaim Tiongkok lebih banyak berhenti di ranah diplomasi dan tekanan politik.
Baik Suriah maupun Tiongkok sama-sama mengandalkan retorika keras untuk menjaga legitimasi internal. Bagi Damaskus, pernyataan itu penting agar rakyat percaya bahwa pemerintah pusat tetap berdaulat penuh. Bagi Beijing, retorika mengenai Taiwan dipakai untuk memperkuat nasionalisme domestik dan citra sebagai negara besar.
Meski demikian, terdapat perbedaan mendasar dalam kekuatan militer dan ekonomi kedua negara. Tiongkok secara global menjadi salah satu kekuatan terbesar, sehingga ancaman terhadap Taiwan terasa lebih serius. Sebaliknya, Suriah justru berada dalam kondisi lemah setelah perang panjang, sehingga ancaman terhadap SDF Kurdi cenderung merasa di atas angin.
Taiwan sendiri berhasil membangun sistem pemerintahan yang mapan, demokratis, dan berfungsi penuh. Sementara itu, SDF Kurdi atau AANES masih sebatas otoritas lokal dengan pengakuan terbatas, belum bisa disamakan dengan entitas negara penuh, meski punya militer kuat. Namun, dalam praktik sehari-hari, keduanya tetap beroperasi secara mandiri dari pemerintahan yang mengklaimnya.
Kedua kasus ini memperlihatkan fenomena “status quo yang membeku”. Artinya, meskipun ada klaim, ultimatum, dan tekanan politik, garis batas kekuasaan jarang berubah drastis. Di Suriah, front timur laut tetap dikendalikan SDF Kurdi. Di Selat Taiwan, pemerintahan Taipei tetap berjalan meski ditekan oleh Beijing.
Faktor eksternal juga sangat menentukan. Kehadiran militer AS di Suriah timur membuat Damaskus sulit masuk. Begitu pula, jaminan keamanan dari AS dan sekutu menjadi tameng Taiwan. Dalam kedua kasus ini, Washington tampil sebagai faktor pengimbang yang membuat status quo bertahan.
Pernyataan politik tanpa implementasi nyata bisa berlangsung puluhan tahun. Klaim Tiongkok terhadap Taiwan sudah berjalan lebih dari tujuh dekade. Klaim Suriah terhadap wilayah SDF Kurdi baru berusia satu dekade lebih, tetapi pola ketidakmampuannya untuk mengubah keadaan di lapangan sudah terlihat jelas.
Di tingkat regional, kedua situasi ini juga berpengaruh pada stabilitas. Di Asia Timur, ketegangan Selat Taiwan menjadi isu sensitif bagi negara-negara tetangga. Di Timur Tengah, posisi SDF Kurdi berpengaruh terhadap hubungan Suriah dengan Turki, Rusia, dan AS. Klaim kedaulatan yang tidak terselesaikan sering menjadi bahan tarik-menarik geopolitik.
Meski terlihat stagnan, kedua pemerintah tidak mungkin berhenti mengeluarkan pernyataan keras. Bagi Suriah, diam berarti dianggap menyerah atas sebagian wilayahnya. Bagi Tiongkok, mundur dari klaim Taiwan akan melemahkan legitimasi Partai Komunis di mata rakyat.
Kalangan analis menyebut bahwa pola ini bisa bertahan selama puluhan tahun ke depan. Suriah mungkin akan terus mengeluarkan ultimatum simbolis kepada SDF Kurdi, tanpa mampu mengubah realitas. Tiongkok pun mungkin terus menggaungkan wacana “penyatuan damai” atau ancaman militer, sementara Taiwan tetap menjalankan pemerintahan sendiri.
Kedua situasi ini memperlihatkan betapa rumitnya persoalan kedaulatan di abad modern. Klaim negara tidak selalu sejalan dengan realitas politik di lapangan. Bahkan, dalam kondisi tertentu, klaim itu justru menjadi semacam ritual diplomasi yang berulang tanpa tujuan praktis.
Namun, baik di Damaskus maupun di Beijing, retorika tetap penting untuk menjaga citra internasional. Suriah ingin dunia tahu bahwa ia tidak melupakan wilayah timurnya yang memiliki 70 persen ladang migas. Tiongkok ingin dunia tahu bahwa Taiwan tetap bagian dari “satu Tiongkok”. Pesan itu menjadi konsistensi yang dijaga tanpa henti.
Jika dilihat dari kacamata geopolitik, faktor eksternal yang menghalangi kedua negara menjadi kunci utama. Selama AS bertahan di Suriah timur, SDF Kurdi akan tetap eksis. Selama AS memberi perlindungan militer kepada Taiwan, status quo di Selat Taiwan akan bertahan.
Bahkan, ada yang menyebut bahwa klaim seperti ini telah berubah menjadi “alat tawar-menawar”. Suriah bisa menggunakan klaim terhadap SDF Kurdi dalam negosiasi dengan berbagai pihak di kawasan. Tiongkok bisa menggunakan isu Taiwan untuk tekanan diplomatik terhadap Washington.
Pada akhirnya, Suriah dan Tiongkok sama-sama berada dalam situasi di mana klaim kedaulatan lebih kuat di kata-kata ketimbang di lapangan. Meski berbeda konteks, keduanya memperlihatkan bagaimana politik internasional kadang membiarkan status quo berlarut tanpa solusi nyata.
Dan jika melihat sejarah Taiwan, kemungkinan besar Suriah pun akan menghadapi kenyataan serupa: klaim yang konsisten, retorika keras, tetapi kenyataan yang nyaris tak berubah selama bertahun-tahun.
Advertisement