-->

Mengenal Para Kiyai dan Tuan Guru di Sumatera Pada Zaman Kontemporer

- Mei 16, 2010
By. Jul Kiev

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi rencana pembuatan buku “Pesantren Al Kautsar Al Akbar: Kiprah Dan Pengabdian”. Melihat dari judulnya, tulisan ini akan panjang sekali karena akan membahas semua ulama, syeikh, tuan guru atau kiyai di Sumatera.

Untuk kami berusaha menyempitkannya untuk membahas ulama yang berada di Sumatera Utara dengan harapan teman-teman dari Aceh, Sumatera Barat dan Riau bisa menambahkannya dengan profil ulama di tempat masing-masing.

Bagaimanakah kita bisa mengatakan bahwa seseorang itu adalah seorang ulama atau seorang syeikh atau seorang kiyai atau seorang tuan guru?? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Karena sampai saat ini belum ada institusi yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya.

Nama-nama di bawah ini adalah mereka yang dikenal oleh masyarakat sebagai ulama sehingga belum tentu masyarakat lain menyetujuinya. Agar mempermudah dalam penulisan baiknya defenisinya dilebarkan sehingga mengakomodir sebanyak mungkin pendapat:

1. Yang pastinya para ulama adalah mereka yang dimata Allah SWt adalah seorang ulama.
2. Karena kategori nomor pertama sulit untuk didefinisikan maka bisalah kita katakan bahwa mereka yang masuk dalam anggota MUI baik pusat dan daerah termasuk dalam katagori ini.
3. Ulama juga sering disandangkan bagi mereka yang menjadi pimpinan pesantren.
4. Adakalanya juga disandangkan bagi profesi dosen di bidang agama di berbagai universitas
5. Mereka yang memimpin pesantren juga disebut ulama, Syeikh, Kiyai, Tuan Guru dll
6. Mereka yang mempimpin sebuah majlis taklim kadang disebut juga ulama
7. Bahkan mereka yang menjadi pengurus organisasi sosial seperti NU, Muhammadiyah, Al Washliyah terkadang juga disebut Ulama.
8. dll

Agar lebih memudahkan, nama-nama berikut kami ambil dari media (Mohon ditambahkan teman-teman!)

Syekh Musthofa Husein Purba

Sumber (http://www.madinahasanbintolhadaulay.page.tl/)

Syekh Musthofa Husein Purba baru hidup sekitar tahun 1886-1937, beliau lahir di desa Tanobato sebuah desa yang terdapat disebelah selatan Kota Panyabungan dan dapat ditempuh sekitar setengah jam.

Ayahandanya bernama Haji Husein adalah seorang pedagang yang sangat alim, waraq lagi taat. Padat tahun 1893, ketika beliau berumur tujuh tahun, iapun dimasukkan pada sekolah Gouvernement yang terkenal pada saat itu dengan sekolah dua Kayu laut.


Dengan kesungguhannya, akhirnya beliau dapat menyelesaikan pendidikan disekolah tersebut. sampai tamat. Melihat kerajinan dan kecerdasan muridnya yang satu ini dalam kelas luar biasa, gurunya yang bernama Sutan guru yang adalah murid dari William Iskandar meyarankan kepada orang tuanya supaya beliau dilanjutkan sekolahnya ke Bukit tinggi.


Harapan gurunya ini, tidak kesampaian karena darah agama yang kuat yang mengalir dari orang tuanya telah membawanya belajar pada seorang Syekh yang bernama Syekh Abdul Hamid di Hutapungkut yang hidup bersamaan dengan Syekh Sulaiman al Kholidy.


Pada tahun 1900, setelah beberapa tahun belajar dan mengabdi pada gurunya, iapun disuruh supaya pergi menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Kota suci Mekkah pada tahun itu.

Selama ditanah suci, iapun menyempatkan diri belajar pada beberapa Syekh atau ulama besar pada saat itu seperti :

1. Syekh Abdul Kadir al Mandily
2. Syekh Umar Sato
3. Syekh Muktar bagan

Tahun 1912, Setelah beberapa lama bermukim ditanah suci Mekkah dan juga berhubung karena orang tuanya telah berpulang kerahmatullah beliaupun kembali ketanah air. Oleh masyarakat sekitar beliaupun dimintakan untuk mengajar dan memberikan pencerahan bagi mereka dan sejak ituu, mulailah beliau mengajar di surau-surau disekitar kampong tersebut.
Hingga disuatu saat, pada tanggal 28 Nopember 1915 terjadi suatu bencana alam yang besar dan sampai menenggelamkan pasar Tanobato waktu itu.

Untuk tetap tinggal dan menetap di Tanobato pada waktu itu sudah tidak memungkinkan, oleh sebab itu beliaupun pindah ke kampong sekitarnya yang bernama desa Purba dan beliapun langsung mendirikan sebuah lokasi pengajian yang sederhana dan menjadi cikal bakal pesantren yang didirikan beliau. Dikemudian hari kampong ini menjadi desa Purbabaru dan tanggal 28 Nopember 1915 juga dipakai sebagai tanggal pendirian pesantren Musthofawiyah Purbabaru ini.

Ciri khas dari pesantren yang didirikan beliau ini, adalah didirikannya gubuk-gubuk kecil sebagai tempat tinggal para santri yang belajar di pesantren ini dan juga sekaligus menjadi sebuah symbol kesungguhan, kesederhanaan, kemandirian dan kezuhudan dari para santrinya dalam menuntut ilmu. Selanjutnya pesantren ini berkembang terus. dan santrinya yang mula pertama hanya berasal dari daerah sekitar. Tetapi berkembang dan bertambah terus terutama dari berbagai daerah pelosok di Nusantara dan jumlahnyapun mencapai ribuan orang.

Untuk mengakomodir santri yang begitu banyak ini, setiap daerah santri disuruh membuat persatuan masing-masing dibawah komando santri-santri yang telah lama bellajar id pesantren ini. Bagi santri yang tidak memungkinkan membentuk perastuan ini, mungkin jumlah yang kecil maka santri boleh bergabung dengan kelompok atau persatuan yang disukainya. Dalam hal ini, santri juga telah dibina dalam berorganisasi.
Pada tahun 1950, muridnya sudah mencapai 4500 orang dan demikian juga dengan para alumninya telah banyak menjadi orang-orang besar dan menduduki beberapa jabatan strategis dinegara kita ini.

Dalam menunjang aktifitas kelancaran proses kegiatan belajar mengajar, belaiu telah membuat terobosan baru dengan membuka sebuah lahan perkebunan karet yang terletak di aekgodang. Sehingga dana kelancaran proses belajar tidak hanya tertumpu pada iuran santrinya saja.

Ketika terjadi masa-masa kritis dinegara kita, sebagai sebuah pesantren yang telah berdiri kokoh maka peasantren ini tidak terpengaruh dalam aktifitas belajar mengajarnya

Begitu juga dalam usaha pendirian koperasi dipesantren ini, beliau gigih memperjuangkannya. Melihat kegigihan dan keberhasilan beliau dalam mengembangkan pesantren ini, sehingga pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1934 menganugerahinya suatu bintang perak dari kerajaan Belanda.

Pada masa Agresi militer Belanda ke II tahun 1949, bersama Syekh Jakfar Abdul Kodir al Mandily , Syekh Yakub Abdul Kodir al Mandily dan H. Fakhruddin Arif. Mereka telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa wajib dan fardu ain hukumnya bagi. setiap muslim yang mukhallaf melawan Agresi milter Belanda.

Bagi yang gugur dalam pertempuran itu adalah syahid, sehingga banyaklah putra-putri terbaik Madina yang tampil dan siap berkorban untuk bangsa dan agama pada saat itu. Akhirnya pihak Belanda tidak pernah melewati daerah Madina, padahal waktu itu tentara Belanda yang datang dari arah Padang sidempuan dan tentara Belanda yang datang dari arah Bukittinggi akan bertemu di Daerah Kotanopan.

Suatu ketika, pada jaman perang kemerdekaan yakni pada suatu malam saat memberikan pengajaran bagi santrinya. Tiba-tiba lampu templok mulai redup cahayanya karena kehabisan bahan baker minyak tanah, melihat hal demikian beliau menyuruh salah seorang santrinya mengisi lampu templok tersebut dengan air sungai Singolot (Sungai yang rasanya kelat/ngolot bahasa Mandailing dan berasal dari Gunung Sorik Marapi) yang mengalir di seberang lokasi pesantren ini.

Tanpa menunjukkan sedikitpun penolakan, santri inipun langsung mengambil lampu teplok dan mengisinya dengan air yang dimaksud. Suatu keajaibanpun muncul, lampu kembali menyala dengan terang dan pengajianpun dilanjutkan kembali seperti biasa.
Pada tanggal 16 Nopember 1955 ketika berumur 70 tahun, Syekh yang kharismatik ini dipanggil Yang Maha Kuasa, ribuan pelayatpun datang mengiringi prosesi pemakaman beliau dan makam beliau terdapat disekitar komplek pesantren Musthofawiyah Purbabaru persis diseberang jalan besar Panyabungan-Bukittinggi.


KH. Ridwan Ibrahim Lubis

(Sumber: http://www.al-washliyah.com/?p=1465)

Logo Muktamar 1Jakarta, al-washliyah.com – Pemilihan Ketua Dewan Fatwa dan Ketua Dewan Pertimbangan berjalan tanpa hambatan yang berarti. Baru kali ini semua proses pemilihan dilakukan dengan suasana tenang, nyaman dan tanpa kegaduhan. Muktamar ke 20 Al Jam’iyatul Washliyah selain memilih Ketua Umum PB Al Washliyah juga memilih Ketua Dewan Fatwa dan Ketua Dewan Pertimbangan PB Al Washliyah. Muktamirin secara aklamasi menyepakati KH. Ridwan Ibrahim Lubis sebagai Ketua Dewan Fatwa dan Dr. H. Maslin Batubara sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.

KH. Ridwan Ibrahim Lubis sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB Al Washliyah sejak 1986-1997. Beliau adalah tipe ulama yang sangat kharismatik di organisasi yang berlambang bulan sabit bintang lima ini.

Pemilihan Ketua Dewa Fatwa berjalan sangat singkat. Ketua PD Al Washliyah Yulizar P Lubis secara tegas mencalonkan KH. Ridwan Ibrahim Lubis sebagai Ketua Dewan Fatwa. “PD Al Washliyah Medan mencalonkan abang kami, orang tua kami H. Ridwan Ibrahim Lubis sebagai ketua Dewam Fatwa,” tegasnya yang langsung disambut kata setuju para peserta muktamar. Seketika itu juga palu sidang langsung mengesahkan KH. Ridwan Ibrahim Lubis sebagai Ketua Dewan Fatwa.

Sementara pada saat pemilihan Ketua Dewan Pertimbangan sedikit terjadi perdebatan lantaran banyaknya calon yang dimunculkan. Ada beberapa nama yang beredar di muktamirin, antara lain Mayjen (Purn.) H. Sudi Silalahi, Prof. Dr. H. Syahrin Harahap, Maslin Batubara dan Dr. H. Abdul Rahman Dahlan, MA.

Lantaran para kandidat belum hadir di arena persidangan,sidang sempat diskor untuk memberi kesempatan kepada para pengusul menghubungi nama-nama yang dicalonkan. Abdul Rahman Dahlan yang sempat dicalonkan langsung menyatakan diri tidak bersedia dicalonkan menjadi ketua Dewan Pertimbangan.

Akhirnya sidang muktamar mengerucut kepada Sudi Silalahi dan Maslin Batubara. Sudi yang kabarnya sedang diterima Presiden RI sulit dihubungi dan akhirnya secara aklamasi Maslin Batubara seorang pengusaha Sumut ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pertimbang PB Al Washliyah.
KH Prof Dr H Abdullah Syah MA

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut Prof Dr H Abdullah Syah MA merayakan ulang tahun ke 70 tahun, Minggu (14/6) di Aula Martabe Kantor Gubsu. Pada kesempatan itu, Guru Besar IAIN Sumut ini meluncurkan tiga buah buku berjudul Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku Melayu, Butir-Butir Figh Harta dan Mereka Berkata Tentang Abdullah Syah.

Abdullah Syah lahir di Kampung Pematang Serai, Pulau Banyak Tanjung Pura Langkat 14 Juni 1939, mengenyam pendidikan formal mulai MR (setingkat SD) tamat tahun 1953, MMP (SMP) tamat 1956 dan MMA (SMA) tamat 1959. Selanjutnya Abdulah Syah melanjutkan pendidikan S-1 di Fakultas Agama UISU tamat 1963.

Tidak cukup hanya S-1, ayah empat anak ini melanjutkan pendidikan Strata 2 Master of Arth (MA) jurusan politik hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo 1966-1969, kemudian menyelesaikan Program Doktoral di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) 1986.

Jenjang karier, sebagai dosen tetap Fakultas Syariah, Guru Besar IAIN-SU dan juga mengajar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, baik S1, S2 maupun S3. Jabatan yang pernah diamanahkan adalah Pj Dekan Fakultas Syariah IAIN-SU dua periode (1972-1977), Ketua Jurusan Qadha Fakultas Syariah IAIN-SU (1985), Dekan Fakultas Syariah 1985-1991, Pembantu Rektor I IAIN-SU 1992-1997, anggota MPR RI/BPMPR 1992-1997, Wakor Korwil ICMI Sumut 1990 sampai sekarang.

Gubsu H Syamsul Arifin SE mengucapkan selamat dan kagum kepada Abdullah Syah, karena sebagai tokoh Sumut telah mampu membuktikan peran ulama yang mempunyai tugas dwi fungsi di tengah-tengah masyarakat. Menurut Gubsu orang yang bermanfaat hidupnya bagi orang banyak akan diperpanjang Tuhan umurnya.

“Hidup harus dimulai dengan niat baik dan usaha yang benar, mudah-mudahan Tuhan meridhoinya, saya berharap akan lahir ulama-ulama muda menggantikan para generasi tua karena para ulama sangat bermanfaat bagi bangsa ini,” ucap Gubsu.

KH. Syeikh Dedi Masri: Pioner di generasi muda pendidik di Sumut

(Sumber: http://iis-dim.or.id/Info/index.php) atau (http://kbaa.blogspot.com/2006/06/iis-dim-menuju-pendidikan-madani_19.html)

IIS DIM merupakan sebuah institusi pendidikan baru di Sumatera. Sistem dan nilai-nilai pendidikan yang diberikan dengan cara yang modern dan mutakhir. Diharapkan lulusannya dapat berkembang tidak saja dari segi ilmu tapi kemampuan inter personal.

Founder dan sekaligus sebagai CEO institusi ini merupakan alumni Persantren Al Kautsar Al Akbar Medan Stambuk 1989. KH. Syeikh Dedi Masri menjadi pioner di generasi muda pendidik di Sumut yang selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada ummat. Sebagai lulusan Al Azhar bergelar Lc dan MA, Pengalaman dan kontemplasinya selama satu dekade di Mesir, membawanya kepada beberapa konsep dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Advertisement