-->

Sejarah Alim Ulama Sumatera Sejak Zaman Baholak sampai Sekarang

- Mei 15, 2010
Oleh: Jul Kiev

Tulisan ini untuk melengkapi “rencana” buku Pesantren Al Kautsar Al Akbar: Kiprah dan Pengabdian. Buku yang mudah-mudahan bias cepat selesai ini memang membutuhkan tantangan untuk menyelesaikannya. Minimal butuh studi yang mendalam untuk bisa merealisasikannya.

Dengan keterbatasan waktu yang dimiliki kita para alumni, dan dengan semangat untuk menympangkan sedikit tenaga demi kekompakan alumni, kami berusaha melakukan “riset” kecil-kecilan aja melali google search, dengan harapan dapat ditambah oleh rekan-rekan melalui “kripik pedas” sperti biasanya.

Kita mungkin bisa mengatakan, untuk apa capek-capek menulis “Sejarah Alim Ulama Sumatera” bukankah sudah ada buku yang lebih berkelas seperti “Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia” karya Azyumardi Azra??

Tapi siapapun yang membaca tuntas buku tersebut, anda pasti akan tidak menemukan, daftar ulama local di dalamnya. Buku yang sangat lengkap ini membahasa jaringan ulama di seluruh nusantara, dan sudah pasti akan menghilangkan nama ulama dengan skop yang lebih kecil.

Ulama-ulama besar besar seperti: Hamzah Fansuri, Burhanuddin Ulakan, Abdul Rauf Al Sinkily, Al Raniry adalah ulama-ulama besar yang sangat sering dibahas eksistensinya. Tapi pernahkah kita mendengar nama “Syeikh Ismail bin Abdul Wahab??”. Seorang ulama Tj Balai dengan jasa yang tidak kalah besar dengan ulama lainnya, tapi cakupan wilayahnya saja yang lebih kecil; hanya setingkat kabupaten.

Inilah tujuan dari tulisan ini, menggali nama-nama ulama yang lupa digali. Mencari tokoh-tokoh ulama yang terlupakan.

Teman-teman dari Aceh bisa memulainya dengan menuliskan nama-nama ulama besar mulai dari tingkat kecamatan, maupun kabupaten. Begitu juga teman dari Riau dan Aceh. Kami mencoba mencari nama-nama ulama di Sumatera Utara.

Alhamdulilah, akhirnya dapat juga. Banyak blog ternyata sudah membahasnya. Jaringan para ulama di Sumatera Utara. (1).

Berikut ini adalah nama-nama ulama yang kelahiran tahun 1800-1900-an, yang mungkin saja tanpa kita sadari telah berjasa dalam mengembangkan masyarakat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara.

SYEIKH ISMAIL BIN ABDUL WAHAB HARAHAP: MATI DIEKSEKUSI

Nama lengkapnya, Assyahid Fi Sabilillah Syeikh Ismail bin Abdul Wahab Tanjung Balai. Dia dilahirkan di Kom Bilik, Bagan Asahan, pada tahun 1897 daeri seorang ayah bernama H. Abdul Wahab Harahap dan ibu bernama Sariaman. Ayahnya berasal dari Huta Imbaru, Padang Lawas, Tapanuli Selatan.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar dia melanjutkan pendidikan, khususnya, agama ke salah seorang ulama di Tanjung Balai, kepada al-Marhum Syeikh Hasyim Tua serta beberapa ulama lainnya. Tanjung Balai, selain kota pelabuhan yang sangat ramai, juga merupakan pusat pendidikan agama Islam di Kesultanan Asahan. Para mahasiswa dari berbagai negeri menjadikan Tanjung Balai sebagai tujuan pendidikan, seperti, Kerajaan Kotapinang, Kerajaan Pane dan lain sebagainya.

Pada tahun 1925, untuk melengkapi ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dia berangkat ke Mekkah, yang menjadi pusat pertemuan intelektual-intelektual Islam sedunia. Di sana dia mengembangkan kemampuannya selama lima tahun sambil menunaikan ibadah haji.

Tidak puas dengan standarisasi ilmu di Mekkah, dia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo, Pada tahun 1930. Dia menamatkan berbagai jenjang di antaranya, Aliyah, Alimiyah, Syahadah Kulliah Syar'iyah dan Takhassus selama dua tahun.

Syahadah Aliyah saat itu setingkat dengan sarjana. Alimiyah setingkat dengan master. Syahadah Kulliah Syar'iyah merupakan pendidikan spesialisasi. Takhassus merupakan pendidikan tingkat Doktor sesuai dengan kurikulum Islam saat itu.

Pendidikan yang sangat lama itu tidak memjadi halangan baginya, walau dengan pengorbanan meninggalkan putrinya yang masih kecil, bernama Hindun, yang lahir sesaat sebelum dia berangkat di Mekkah.

Aktvitasnya tidak saja dicurahkan untuk penguasaan ilmu, dia juga aktif dalam politik untuk menentang kolonialisme. Berbagai kegiatan tersebut mengantarnya menjadi Ketua 'Jamiatul Khoiriyah', sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Mesir.

Perjuangan melawan kolonialisme tersebut diperluas ke segenap puak Melayu yang berada dalam terkaman bangsa kolonial. Diapun terpilih menjadi Ketua Persatuan Indonesia Malaya selama tiga tahun. Selama kepemimpinannya dia berhasil membangun solidaritas dan nasionalisme di jiwa para pemuda Indonesia dan Malaysia yang belajar di Mesir.

Di Tanah Air, gaung nasionalisme tersebut semakin menjalar di kedua negara, sehingga nama Parpindom, akromin organisasi mereka tersebut, memberi harapan yang sangat jelas mengenai nasib bangsa yang terjajah itu.

Kesadaran politik di Indonesia dan Malaysia semakin berkembang pesat, saat beberapa tulisannya terbit di majalah-majalah di kedua negara. Majalah Dewan Islam, Medan Islam dan lain-lain, merupakan corong politik baginya yang menimbulkan kepercayaan diri bagi bangsa pribumu dengan nama samaran di koran; "Tampiras".

Perjuangan selama tiga belas tahun di luar negeri, membuatnya terkenal saat pulang meninggalkan Port Said, Mesir ke Indonesia via Singapura, sebuah provinsi Malaya saat itu.

Jumat, 28 November 1936, dia kembali ke tanah air melalui Pelabuhan Teluk Nibung tepat pukul 15.45, dengan menumpang Kapal Kampar dari Bengkalis.

Kedatangannya, tanpa diduga-duga telah diketahui oleh masyarakat Tanjung Balai. Sehingga, secara spontan, masyarakat yang rindu dengan jiwa perjuangan tersebut menyambutnya di pelabuhan dengan lagu-lagu perjuangan, Tala'ah Badru Alaina.

Diapit oleh adiknya Zakaria Abdul Wahab Harahap yang menjemputnya di Bengkalis, dia mendekati satu persatu masyarakat yang menyambutnya dengan sebuah kehangatan akan harapan untuk membela harga diri bangsa dari kezaliman penjajah.

Dapat dipahami kedatangannya ke Tanah Air kemudian dipersulit oleh penjajah Belanda, sehingga beberapa persoalan dan kesulitan juga menyambutkan bersama sambutan hangat dan menggebu-gebu dari masyarakat untuk tokoh pergerakan nasional ini.

Namun, kewibaan dan kesabaran yang ditunjukkannya membuatnya dapat bertaham dan kemudian mendirikan sebuah institusi pendidikan dengan nama "Gubahan Islam". Yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Tanjung Balai. Beberapa tokoh setempat berlomba-lomba menbantunya seperti H. Abdur Rahman Palahan dan H. Abdul Samad.

Beberapa kali insiden yang mengarah kepada kekacauan sosial diciptakan oleh intel-intel penjajah untuk membuat gap antara masyarakat dengan lembaga pendidikan tersebut. Namun setiap kali itu pula si Harahap ini berhasil mengatasinya dengan karisma yang terletak di pundaknya.

Pendidikan yang diterapkannya di perguruan tersebut semakin lama semakin meningkat. Beberapa tahap dan level pendidikan didirikan untuk memenuhi permintaan masyarakat. Level pendidikan umum, dewasa, dan juga pendidikan politik bagi aktivis-aktivis kemerdekaan.

Namun, sebagai seorang pemikir dan intelektual, kegiatannya tidak terpaku pada kegiatan ajar-mengajar. Dia juga terlibat dalam riset dan penelitian demi memajukan sistem sosial masyarakat di Tanjung Balai. Beberapa hasil riset dan pemikirannya tersebut tertuang dalam beberapa buku, antara lain "Burhan al-Makrifah". Artikel-artikelnya dimuat di hampir semua koran-koran di berbagai kerajaan dan kesultanan, yang sekarang menyatu menjadi Sumatera Utara.

Beberapa kali Belanda mengeluarkan perintah rahasia untuk membungkamnya. Beberapa peraturan baginya dibuat khusus termasuk larangan untuk mengajar.

Paska kemerdekaan RI, nasionalisme di Tanjung Balai mencapai puncaknya. Dia diangkat menjadi Ketua Nasional Kabupaten Tanjung Balai, untuk menegaskan kemerdekaan RI dari belenggu kolonialisme Belanda.

Di Tebing Tinggi, dia menggalang solidaritas sesama ulama se Sumatera Timur pada tahun 1946 dan merumuskan beberapa fatwa untuk membantu ummat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ibadah yang mereka hadapi.

Maka tidak heran, rakyat di Sumater Timur sangat merindukan kehadirannya saat dengan lantang menunjukkan keberaniannya untuk menurunkan bendera Jepang di Kantor Gun Sei Bu di Tanjung Balai. Sesuatu yang menurut orang banyak sebagai tindakan yang sangat nekat untuk ukuran zaman penjajahan Jepang yang otoriter tersebut.

Di sela-sela tanggung jawab sosial yang diembannya, dia masih bersedia untuk diangkat menjadi Penanggung Jawab sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Nasional "Islam Merdeka" yang kemudian diubahnya menjadi Majalah "Jiwa Merdeka".

Untuk mengisi kekosongan birokrasi dari kurangnya SDM Sumatera Timur saat itu, Gubernur Sumatera, Mr. T. M Hasan memintanya untuk menjadi Kepala Baitul Mal Jawatan Agama pada tahun 1946, yang berkedudukan di Pematang Siantar.

Paska kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali lagi dalam sebuah agresi militer yang dikenal Agresi Belanda I pada tahun 1947. Dia yang menjadi target operasi Belanda akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke Pulau Simardan. Enam hari setelah agresi tersebut dia menungunjungi rumahnya di Jalan Tapanuli, Lorong Sipirok, Tanjung Balai untuk mengambil perbekalan. Jam 10.00 pagi dia ditangkap oleh Belanda.

Dengan dakwan telah memprovokasi pemuda Indonesia untuk merdeka dia ditembak mati oleh Belanda pada hari Minggu 24 Agustus 1947 pukul 11.00. Dia tewas dalam umur 50 tahun dan dikuburkan di penjara Simardan.


TUAN GURU SYEIKH ABDUL WAHAB BESILAM: SANG IMAM

Lahir 10 Rabiul Akhir 1242 H atau 1817, di Kampung Runda, Rantau Benuang Sakti. Di merupakan salah satu tokoh dari berbagai tokoh Islam yang menjadi pembuka sebuah wilayah untuk kemudian menciptakan sebuah masyarakat Islam dengan peraturan dan perundang-undangan Islam.

Nama kota madani tersebut adalah Babussalam yang dikenal dengan Besilam di Kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat merupakan Kesultanan Islam, yang penduduknya kebanyakan Muslim Karo dan tunduk kepada kedaulatan Kesultanan Aceh sebelum akhirnya dijajah Belanda. Kesultanan tersebut sejak dulu merupakan pusat pengembangan Islam. Beberapa peninggalan arsitektur Islam di daerah ini masih tersisa sampai sekarang.

Tuan Guru, dari Besilam, menjadi pusat organisasi tarekat Naqsabandiyah yang meliputi Asia Tenggara. Beberpa buku dan ajarannya menjadi acuan jutaan ummat manusia yang menjadi pengikutnya. Tuan Guru menjadi sebuah 'Imam' bagi ajaran tarekat ini.


SYEIKH SULAYMAN AL-KHOLIDY HUTAPUNGKUT: PENGASAS ORGANISASI SULUK TANAH BATAK

Lahir di Hutapungkut, Kotanopan pad atahun 1842. Ayahnya bernama Japagar, seorang tokoh pemuda yang mempunyai bebraap seni beladiri dan menetap di Sipirok sebagai insinyur yang menguasasi pengolahan logam, khusunya besi.

Dia merupakan mahasiswa Abdul Wahab Rokan serta beberapa ulama lainnya. Dia natara kolega mahasiswanya yang setingkat adalah Syeikh Ibrahim dari Kumpulan Lubuk Sikaping dan Syeikh Ismail dari Padang Sibusuk.

Setamat pendidikanya di menjadi tokoh pembaharu sosial di Padang Lawas dengan ajaran-ajaran tarekat yang dibawanya. Di Padang Lawas dia menjadi intelektual yang menjadi pusat tujuan belajar para pemudan dan tokoh setempat. Salah satu tokoh Padang Lawas yang berguru kepadanya adalah Syeikh Abdul Qadir yang sampa sekarang masih dikenal sebagai pahlawan dalam mengentaskan pendidikan di Padang Lawas.

Tempat kelahirannya Hutapungkut menjadi ramai dengan kunjungan para musafir yang ingin belajar dengannya. Rumahnya menjadi pusat studi dan riset yang menyangkut semua maslahat ummat.

Tak lama kemudian dia mendirikan mensjid di samping rumahnya yang membuat lembaga studi itu semacam perguruan yang menjadi pusat tarekat Naqsabandiyah di Tapanuli Selatan. Pendirian mesjid dan bangunan-bangunan tersebut dilakukan sendiri oleh Syeikh dengan para mahasiswanya dengan bahan baku dari huta-hutan sekita 15 kilometer dari rumahnya. Sehingga, berubahnya Hutapungkut menjadi kota mandiri dan pusat pendidikan di Tapanuli.

Beberapa alumni dari perguruan ini adalah Syeikh Basir dari Pekantan yang dikenal dengan Tuan Basir (Lihat; Pustaha Tumbaga Holing, Tampubolon) di kalangan masyarakat Batak Toba karena Syeikh Basir ini merupakan tokoh yang menjadi penyebar Islam, terutama tarekat atau suluk di seluruh pelosok dan pedalaman Tanah Batak Toba. Organisasi-organisasi suluk di huta-huta di Toba tersebut menjadi kekuatan penting dalam pengusiran penjajah Belanda.

Alumni lainnya adalah Syeikh Husein dari Hutagadang yang menjadi penerus kepemimpinan Naqsabandiyah di Tapanuli Selatan. Alumni lainnya diantaranya; Syeikh Hasyim Ranjau Batu, Syeikh Abdul Majid Tanjung Larangan Muara Sipongi, Syeikh Ismail Muara Sipngi, Syeikh Muhammad Saman Bukit Tinggi dan puteranya sendiri Syeikh Muhammad Baqi.

Salah seorang alumni Hutapungkut, Syeikh Abdul Hamid, menjadi imam dan pengajar di Mesjidilharam Mekkah, sebelum kembali ke Hutapungkut sebagai pemangku Khalifah Naqsabandiyah untuk daerah Tapanuli.

Syeikh Sulayman al-Kholidy sebagai peletak pondasi intelektualisme Tapanuli di Hutapungkut, meninggal 12 Oktober 1917.


SYEIKH ABDUL HALIM HASIBUAN GELAR SYEIKH BOSAR: SANG EDUKASIONIS

Syeikh Hasibuan dilahirkan di Sihijuk, Sipirok dari seorang ayah yang menjadi Qadhi, dengan nama Maulana Kadi Hasibuan dengan gelar H.M. Nurhakim.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Tanah Air, dalam umur 12 tahun dia berangkat ke Mekkah untuk meneruskan pendidikannya. Di Mekkah dia belajar dan mengeluti intelektualisme Mekkah selama tiga puluh tahun antara 1870-1900.

Guru-gurunya antara lain, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Asy'ari Bawian, Syeikh Kendi dan Syeikh M. Daud Fathoni. Spesialisasi yang dikuasasinya dalah Jusrisprudensi (Fiqih), Hadits dan Tasawuf.

Sekembalinya ke Tanah Air, dia diangkat menjadi Syeikh di mesjid raya lama Padang Sidempuan selama dua puluh tahun. Saat itu, fungsi mesjid selain tempat ibadah juga menjadi lembaga pendidikan, konseling, ifta (atau penetapan fatwa untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat) dan pusat riset dan pengembangan masyarakat.

Selain terlibat di pusat kegiatan sosial, dia juga mendirikan perguruannya di Hutaimbaru, Angkola Julu. Perguruan tersebut makin lama makin sering dikunjungi para mahasiswa-mahasiswa di seantera negeri. Beberapa almuninya antara lain: Syeikh Kadir Aek Pining Batang Toru, Syeikh Harus adik Syeikh Bosar, H. Hasan Mompang Julu, Dja Mulia Simarpinggan, Syeikh Abrurrahman Sialogo, H. Daud Momang Julu dan tokoh intelektual masyarakat Batak Toba, Abdul Halim Perdede.

Pada tahun 1920, dia meninggal di Mesjid Lama Padang Sidempuan. Sebelum meninggal, dia dikenal sangat aktif berpolitik khususnya dalam pengembangan politik di Tapanuli Selatan, khsusunya sebagai Ketua Syarikat Islam Tapanuli Selatan.


SYEIKH ABDUL HAMID HUTAPUNGKUT: SANG REFORMIS

Lahir pada tahun 1865 M, dan merupakan tokoh pembaharu. Sebagai intelektual dia banyak terlibat dalam pengembangn kultur dan budaya di Tapanuli Selatan. Dia merupakan tokoh yang berdiri untuk semua golongan dan tidak mau terlibat dalam ajaran tarekat Naqsabandiyah.

Pada tahun 1918, dia mengembangkan Islam di Pematang Siantar dan menjadi Qadhi di Timbang Galung. Selama dua tahun dia mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat Batak Simalungun, dia kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 1920.

Di sana dia mendirikan perguruannya di sebuah mesjid yang dibangunnya dan memperkaya Hutapungkut sebagai kota dengan seribu perguran Islam. Slah satu alumninya adalah Lebay Kodis. Sambil menjadi cendikiawan di perguruan tersebut dia juga terlibat dalam kegiatan politik mengusri Belanda sampai akhirnya dia bergabung dengan Permi dan PSII.

Semangat pembaharuan yang dibawanya membuat beberapa generasi muda di Hutapungkut mendirikan beberapa perguran diantaranya:

1. Maktab Ihsaniyah, didirikan pda tahun 1927 dengan guru besar Muhammad Ali bin Syeikh Basir yang berasal dari Deli Tua, Kesultanan Deli.
2. Diniyah School pada tahun 1928 dengan guru besar H. Fakhruddin Arif dengan nama Arjun.
3. Di Manmbin berdiri Madrasah Islamiyah dengan guru besar Hasanuddin dari Kesultanan Langkat.
4. Tahun 1929 di Sayur Meincat Kotanopan dengan nama isntitusi Subulus Salam dengan guru besar H. Ilyas dari Kesultanan Deli.
5. Tahun 1929 di Singengu Kotanopan dengan guru besar H. Nurdin Umar dari Kesultanan Langkat dengan nama perguruan Syariful Majlis.

Renaissance Hutapungkut yang digagas oleh Syeikh akhirnya diteruskan oleh beberapa generasi penerusnya setelah wafatnya pada tahun 1928.


SYEIKH JA'FAR HASAN TANJUNG: SANG ORGANISATOR

Lahir di Remburan, Mandailing pada tahun 1880, anak kedua dari dua belas putera-puteri Syeikh Hasan Tanjung.

Sejak kecil dia merantau ke Kesultanan Deli, tepatnya Medan dan tinggal bersama pamannya yang menjadi pengusaha sukses yang bernama H. Hamid Panjang Mise dan mempunyai banyak gerai batik salah satu diantaranya di Kesawan No. 34 Medan.

Pada tahun 1904, dia diutus oleh pamannya tersebut untuk belajar ke Mekkah. Setelah beberapa tahun di sana dia melanjutkan studinya ke Bait al-Maqdis, Jerusalem, Palestina. Dari sana dia melanjutkan kelana pendidikannya ke Kairo.

Pada tahun 1912, dia kembali ke tanah air dan mengembangkan Islam dan pendidikan di Kesultanan Deli, tepatnya di Jalan Padang Bulan 190 Medan.

Dari pengalamannya tersebut dia diangkat menjadi Pemimpin di Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan yang berdiri pada 9 Syakban 1336 H. Pimpinan setelah itu adalah H. Yahya, Syeikh Ahmad dan Syeikh M. Yunus berturut-turut.

Dalam perjalanan sejarahnya, rumahnya yang di Padang Bulan tersebut, diserahkannya kepada al-Jam'iyah al-Washliyah yang menjadi organisasi masyarakat muslim di Medan.

Sebagai tokoh masyarakat, dia menunjukkan sebauh kebiasaan baru yang tidak lazim saat itu, bahwa dia tidak mau menerima zakat yang menurutnya ada beberapa ashnaf yang lebih berhak menerimanya.

Sumbangsihnya dalam perjalanan karir politik adalah pendirian organisasi seperti al-Jam'iyah al-Washliyah di Medan.


KADHI H. ILYAS PENYABUNGAN: SANG KADHI

Dilahirkan di Sabajior, Penyabungan pada 10 Rabiul Awal 1302 H. Ayahnya bernama H Sulayman.

Dia aktif mengembangkan Makbat Subulussalam sampai akhirnya penguasa Sukapiring memintanya menjadi Kadhi di Sukapiring, Kesultanan Deli. Masa hidupnya dihabiskan untuk membesarkan organisasi al-Jam'iyah al-Washliyah.


SYEIKH JUNEID THOLA RANGKUTI: PENGASAS PHILANTROPHY

Lahir di Huta Dolok, Huta Na Male, Negeri Maga, Kotanopan. Pada saat itu Huta Dolok masih bernama Pagaran Singkam suatu wilayah yang terletak di kaki Gunung Sorik Marapi.

Sewaktu kecil ayahnya Thola Rangkuti memberinya nama Si Manonga karena lahir dengan kondisi yang sangat sulit.

Sekolah dasar di Maga dan dilanjutkan di Tanobatu yang selesai pada tahun 1906. Semangatnya untuk melanjutkan pendidikannya terinspirasi oleh H, Abdul Malik Lubis, seorang tokoh intelektual lokal di Maga.

Syeikh Juneid merupakan pelopor legiatan wakaf atau filantrofi di Tapanuli. Melalui serangkaian kegiatan dia berhasil mengumpulkan dana untuk mendirikan perguruan pendidikan di Huta Na Male. Di samping itu dia juga mendirikan beberapa lembaga sosial ekonomi dari hasil wakaf yang dikumpulkannya. Di antaranya adalah pasar wakaf di Huta Na Male.

Dengan gerakan wakaf ini, Huta Na Male dan Maga menjadi sebuah negeri dengan perputaran eknomi yang cukup mapan. Beberapa pengusaha lokal pun akhirnya muncul dan menyebar menguasasi ekonomi Tapanuli di berbagai tempat.

Syeikh Juneid dikhabarkan berhasil membangun industri lokal untuk memproduksi peralatan dan barang-barang sandang pangan buatan lokal. Dia sendiri banyak terlobat dalam produksi minyak nabati seperti minyak nilam dan produksi sepatu yang bahan bakunya diambil dari kebun wakaf yang menjadi modal ekonomi masyarakat di Tapanuli. Pembangunan sosial yang madani ini akhirnya diteruskan oleh para generasi penerusnya setelah dia meninggal pada 30 Maret 1948.


SYEIKH MUHAMMAD YUNUS TAPANULI: SANG POLITIKUS

Lahir 1889, merupakan pendiri 'Debating Club'; yang sangat terkenal. Kehidupannya banyak dibahas dalam biografi tokoh-tokoh yang menjadi pentolan melawan penjajah.

H. MUHAMMAD MUKHTAR HARAHAP: PEMBAHARU SOSIAL

Lahir di Padang Bolak pada tahun 1900. Dia merupakan pendiri sebuah lembaga pendidikan yang prestisius Pondok Pesantren al-Mukhtariyah.

Semasa di Mekkah dia belajar dengan beberapa tokoh di antaranya:

1. Syeikh Mukhtar Bogor
2. Syeikh Abdul Kadir Mandily
3. Syeikh Ali Maliki Mekkah
4. Syeikh Umar Bajuri Hadramy
5. Syeikh Abdurrahman Makky
6. Syeikh Umat Satha Makky
7. Syeikh Muhammad Amin Madinah
8. Syeikh Muhammad Fathani Malaya
9. Ustadz Nila

Syeikh Harahap ini merupakan tokoh modernisasi pendidikan di Padang Lawas. Organisasi yang didirikannya, al-Mukhtariyah, menerapkan sistem organisasi pendidikan di wilayah tersebut.

Dengan kurikulum dan sistem pendidikan yang moderen, beberapa cabang perguruan lain berdiri di tanah Batak di antaraya di Kerajaan Portibi pada tahun 1935.

Beberapa cabang lain antara lain:

1. Kerajaan Portibi (Julu) yang dipimpin oleh guru besar Syeikh Abdul Halim Hasibuan
2. Simaninggir dengan pimpinan guru besar Syeikh Guru Uteh
3. Rondaman Dolok dipimpin oleh guru besar Syeikh H. Mursal
4. Hotang Sosa dengan pimpinan guru besar Syeikh Guru Jidin
5. Alonan dipimpin oleh Syeikh Zakaria

Sumbangan lain dari Syeikh Harahap adalah modernisasi sistem ekonomi dan sosial masyarakat. Dia merupakan tokoh yang mengasas terbetuknya koperasi di beberapa tempat masyarakat muslim Tapanuli.

Koperasi tersebut berhasil mengentaskan kemiskinan di wilayah tersebut dan menjadi arena pendidikan untuk pengusaha-pengusaha lokal. Namun sayang, penjajahan Jepang sempat mematikan koperasi-koperasi tersebut.

Beberapa alumni perguruan tersebut telah menjadi pendiri beberapa perguruan lainnya dan banyak menjadi tokoh pendidikan di Medan.


SYEIKH H. ADNAN LUBIS: AHLI TATA NEGARA

Nama lengkap al-Fadhil Haji Adnan Lubis. Lahir Mei 1910 di kampung Arab, Medan, Kesultanan Deli. Ayahnya H. Hasan Kontas, seorang saudagar kain di Panjang/Kesawan.

Dia merupakan alumni Maktab Islamiyah Tapanuli di Jalan Hindu. Pada tahun 1926, dia berangkat ke Mekkah bersama Syeikh Nawawi yang menjadi Syeikh Jama'ah di Mekkah.

Pada tahun 1934, dia melanjutkan pendidikannya ke India, tepatnya Nadwa College (Darul Uloom Nadwatul Ulama), sebuah universitas yang banyak melahirkan cendikiawan dari mahasiswa di seluruh dunia, khususnya negara-negara berkembang.

Di kampus tersebut, kemampuan bahasanya bertambah dengan penguasaan bahasa Urdu yang serupa dengan bahasa Sansekerta. Selama studi di India, dia berhasil menulis beberapa buku yang di antaranya dicetak di Medan seperti: Kisah Perjalanan Imam Syafii.

Lima tahun dihasbiskan di Lucknow untuk mempelajari ilmu Ekonomi, Politik dan ilmu-ulmu lainnya dan luluh dengan predikat al-Fadhil. Al-Fadhil merupakan gelar untuk master sementara Alimiyat adalah gelar untuk sarjana.

Beberapa tokoh ulama di India tercatat sebagai dosennya di antaranya:

1. Syeikh Mas'ud Alam
2. Syeikh Sibli Nu'mani yang merupakan tokoh India
3. Syeikh Sulayman al-Nadwi
4. Syeikh Tarmizi

Pada tahun 1939, dia kembali ke Indonesia dan menikah dengan boru Nasution bernama Rachmah binti Abdul Malik Nasution dengan dua puteri dan lima orang putera.

Dia aktif berorganisasi dalam al-Jam'iyatul al-Washliyah dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung pengusiran Belanda dari Tanah Air. Kegiatan utamanya dalam pendidikan tidak pernah ditinggalkannya. Misalnya sebagai Guru Besar di Universitas Islam Sumatera Utara untuk mata kuliah Hukum Islam pada tahun 1952.

Pada tahun 1956-1959 dia diangkat menjadi Aggota Konstituante dan pada tahun 1958 menjadi rektor sebuah universitas prestisius UNIVA sebuah universitas paling bermutu di jamannya.

Beberapa tulisannya mengani Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam dan Perbandingan Islam. Di bidang sastra dia juga menulis 'Gubahan Perjuangan Rasul'. Menerjemahkan Kitab 'Falsafah Timur' karangan Prof. Ghallib dari Mesir. Selain buku-buku agama dia juga menulis buku-buku politik seperti Hukum Tata Negara Islam. Buku tersebut ditulis selama dia menjadi anggota Konstituante.


ABDUL FATAH PAGARAN SIGATAL: MODERNIS SULUK

Nama kecilnya Abdul Fatah berasal dari Porlak Tele di Batahan yang masuk dalam wilayah Natal, Tanah Batak Selatan. Menurut riwayatnya beliau wafat pada tahun 1900 dalam usia 91 tahun. Oleh sebab itu tahun kelahirannya diperkirakan pada tahun 1809.

Bersama Lamri dan Barus, Natal merupakan pelabuhan kuno yang telah mendapat sentuhan peradaban Islam dengan nuansa budaya Batak. Selama hidupnya dia berkecimpung dalam mengembangkan organisasi-organisasi suluk yang banyak tumbuh di tanah Batak.


SYEIK MUHAMMAD YUNUS HURABA: TOKOH PEMBANGUNAN SOSIAL SIPIROK

Lahir pada tahun 1894 di Huraba, Mandailing. Setelah kuliah di Mekkah dia membangun Sipirok pada tahun 1865 melalui permintaan Namora Natoras setempat. Pembangunan masyarakat Islam di Sipirok dimulai dengan mendirikan mesjid raya serta beberapa bangunan lembaga pendidikan lainnya.

Dengan hadirnya Syeikh di Sipirok, dapat dipastikan bahwa struktur masyarakat Sipirok akhirnya dapat berkembang sesuai dengan masyarakat modern untuk level saat itu.

Sipirok menjadi pusat pendidikan Islam dan banyak ulama yang lahir dari tangannya. Diantaranya adalah Syeikh Syukur Labuo dari Parau Sorat dan anaknya sendiri yang bernama Tuan Syeikh Ahmad Disipirok.

Syeikh meninggal pada tahun 1909.


TUAN GURU AHMAD ZEIN BARUMUN: SAUDAGAR YANG INTELEKTUAL

Dia merupakan anak dari aristokrat Kerajaan Aru Barumun dari Tanjung Kenegerian Paringgonan, Barumun. Dia dilahirkan di lembah Gunung Malea tepatnya di Pintu Padang Julu pada tahun 1846.

Sebagai anak seorang aristokrat, dia menjadi saudagar yang berkeliling dari satu onan ke onan yang lain di sepanjang Bukit Barisan. Di sela-sela kegiatan ekonominya tersebut, dia meyempatkan diri untuk mempelajari buku-buku ilmu pengetahuan secara otodidak.

Untuk mengembangkan kemampuannya dia merantau ke Tanjung Balai sebuah kota pelabuhan yang banyak ditempati ulama-ulama terkenal saat itu. Di sana dia bermukim dan belajar kepada tokoh-tokh intelektual sampai usia 23 tahun.

Dari Tanjung Balai, dia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menimba ilmu seperti halnya tokoh-tokoh Batak lainnya pada tahun 1869. Dengan kapal layar dia menuju pelabuhan Jeddah dan berguru di beberapa ulama terkenal di Mekkah di antaranya; seorang ulama Batak Syeikh Abdul Kadir bin Syabir yang keturunan Penyabungan, Syeikh Abdul Jabbar keturunan Mompang Mandailing dan Syeikh Abu Bakar Tambusai.

Selain ulama keturunan Batak tersebut, dia juga menimba ilmu dari ulama-ulama Nusantara yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Mukhtar Bogor, Syeikh Umar Sumbawa dan lain sebagainya.

Setelah dua belas tahun di Mekkah di kembali ke Tanah Air dengan mendirikan sebuah institusi pendidikan di Pintu Padang Julu pada tahun 1901. Dengan sistematisasi pendidikan yang digagasnya, dia dapat menelurkan berbagai sarjana dengan metode pendidikan Arab yang modern.

Di Pendidikan tersebut dia juga mengajarkat Tarekat Tahqin al-Zikri ala al-Naqsabandiyah. Dia kemudian meninggalkan Tarekat ini setelah membaca buku 'Izhar al-Kazibin' karya Ahmad Khatib Minangkabau.

Setelah 23 tahun di Pintu Padang dan menjadikannya pusat pendidikan intelektual dan cendikiawan Batak, dia kemudian kembali ke desa nenek moyangnya di Tanjung pada tahun 1924. Di Tanjung dia mendirikan pondok pesantren. Dengan kharisma yang dimilikinya dia berhasil mengembangkan Tanjung, Paringgonan, menjadi pusat studi Islam yang didatangi para mahasiswa dari seluruh penjuru Tanah Batak.

Selama hidupnya, dia terlibat dalam aktivitas-aktivitas perlawanan kepada kekuatan penjajah Belanda. Puncak kegembiraan dalam hidupnya nampak saat kemerdekaan Indonesia. Dia meninggal pada tanggal 10 Oktober 1950.


H. MUHAMMAD DAHLAN HASIBUAN: ORGANISATORIS DARI SIBUHUAN

Lahir di Hasahatan Jae, Sibuhuan pada tahun 1904 M. Dia wafat pada tahun 1973. Orang tuanya, H. Abdur al-Rahman, seorang saudagar kaya dan sangat terkenal di Kesultanan Barumun.

Namun sayang, bakat dagang ayahnya tidak diwarisi oleh Syeikh Hasibuan namun demi meneruskan tradisi ekonomi dan perdagangan keluarga dia memberikan tanggung jawab regenerasi kepada H. Baginda Soaduon Hasibuan yang menguasai perputaran ekonomi di Kesultanan Barumun.

Dia merupakan alumni dari Pondok Pesantren Galanggang Sibuhuan dengan guru besar H. Muhammad Shaleh Mukhtar. Setelah menamatkan studinya di sana, dia melanjutkan studinya di Kesultanan Langkat, tepatnya di Madrasah Aziziyah Tanjung Pura dengan kekhususan pada sastra.

Antara tahun 1920-1926, dia melanjutkan studinya di Mekkah dan kembali Indonesia dan mulai mengembangkan ilmunya di Maktab Syariful Majalis di Galanggang Sibuhuan. Pada tahun 1937 dia mengajar di Kampung Keling, Pematang Siantar. Namun, atas desakan masyarakat di Kesultanan Barumun, dia diminta kembali untuk membangun masyarakat di Barumun dan sekitarnya.

Di sana dia Membangun sebuah institusi pendidikan yang sangat spektakuler dengan nama Jam'iyah al-Muta'allimin. Dari namanya bisa diartikan sebagai Universitas Mahasiswa. Namun paska kemerdekaan Indonesia, institusi ini menjadi mengerdil dengan sekedar setingkat pondok pesantren.

Pondok tersebut yang dikenal dengan Pondok Aek Hayuara, menjadi center of excelent yang sangat terkenal di kesultanan tersebut karena menyediakan sistem pendidikan di berbagai level. Salah satu level adalah pondok dalam yang mahasiswanya terdiri dari orang dewasa yang sudah menikah, janda maupun duda. Pendidikan untuk semua umur digagas melalui pondok ini.

Kemasyhuran pondok ini tidak saja di Kesultanan Barumun, tapi juga ke seantero Tanah Batak dan bahkan Sumatera. Mahasiswa-mahasiswa dari berbagai bahasa di Sumatera berduyun-duyun berdatangan di setiap pembukaan tahun ajaran baru.

Namun, pada zaman Jepang pondok ini mengalami kemunduran secara ekonomi akibat 'malaise' yang mengundang simpati dari pemimpin-pemimpin negeri. Tercatat Sultan Deli dari Kesultanan Deli kemudian berinisiatif untuk mensubsidi pondok ini. Inisiatif ini juga diikuti oleh Sultan dari Kesultanan Asahan dan Raja dari Kesultanan Kotapinang.

Pada zaman kemerdekaan, dia kemudian melakukan pembaharuan di pondok tersebut dengan memasukkan kurikulum yang up to date sehingga pondok tersebut diakui 'hanya' setingkat PGA.

Selain menjadi tokoh pendidikan di Kesultanan Barumun, dia juga aktif membangun UNUSU atau Universitas NU Sumatera Utara di Tapanuli. Melalui sentuhannya bebeapa anak muridnya menjadi tokoh pendidikan di mana-mana. Di antaranya Tuan Mukhtar Muda dan Tuan Ridho di UNUSU, H. Ja'far dengan membuka lembaga pendidikan baru yang bernama Pondok Lubuk Soripada di Tangga Bosi.

Ada lagi H. Malik yang mendirikan Perguruan di Ubar Padang Bolak, H Ahmadsyah dengan perguruan di Langga Payung, Lobe Baharuddin dan Lobe Harun yang mempunyai perguruan masing-masing di Sibuhuan yang juga menjadi pusat pengembangan masyarakat Sibuhuan dan lain sebagainya.

Paska kemerdekaan pula, dia aktif dalam organisasi-organisasi kemasyarakat dan politik seperti Masyumi. Selain itu dia juga akrif di berbagai dewan kenegerinya di Barumun.


SYEIKH ABDUL MUTHALIB LUBIS: TOKOH SPIRITUAL DARI MANYABAR

Lahir di Manyabar pada tahun 1847 dan wafat pada tahun 1937. Dia berasal dari keluarga miskin yang menggantungkan kehidupan dari pertanian dan beternak kerbau.

Pada umur 12 tahun dia merantau ke Kesultanan Deli. Dan pada tahun 1864 dia berangkat ke Mekkah setelah mendapat bekal yang cukup dari hasil usaha di Medan pada umur 17 tahun bersama abangnya Abdul Latif Lubis.

Dia mengahabiskan waktunya untuk studi di Mekkah sampai tahun 1874. Setelah itu dia musafir dan belajar di Baitul Maqdis, Jerusalem, Palestina dan kembali ke Mekkah, tepatnya Jabal Qubeis untuk belajar Tarekat Naqsabandiyah sampai tingkat Alim.

Padda tahun 1923 dia kembali ke Tanah Air setelah sebelumnya tinggal di Kelang Malaysia dan pulang pergi ke Mekkah. Di Manyabar, dia menggeluti kegiatan sosial dengan membangun kehidupan sosial masyarakat di berbagai tempat di antaranta; Barbaran, Hutabargot, Mompang Jae, Laru, Tambangan, Simangambat, Bangkudu, Rao-rao sampai ke Siladang.

Kegiatan sosial ini sangat menyentuh langsung kepada permasalahan hidup sehari-hari masyarakat di berbagai tempat tersebut. Berbagai persoalan ditujuan kepadanya, mulai dari permasalaha rumah tangga, pekerjaan, kesulitan ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Dari kegiatan tersebut, dia berhasil membentuk masyarakat-masyarakat tersebut untuk berswadaya dalam pembangunan fasilitas uumum dan sosial serta agama sepeti mesjid, fasiltas suluk dan lain sebagainya.

Dalam sebuah kemarau yang sangat panjang, dia berinisiatif untuk mencari mata air dengan melakukan penggalian yang kemudian sangat berguna bagi warga setempat.

Salah satu keistimewaan beliau adalah hibinya melakukan long march yakni ritual berjalan kaki dari sebuah tempat ke tempat lain. Perjalanan itu pernah dilakukan ke Medan, kembali ke Petumbukan, Galang bahkan Pematang Siantar. Dalam perjalanan, mereka aktif menyapa masyarakat dan mencoba memecahkan dan meringankan masalah-masalah keseharian yang dialami penduduk yang dilaluinya. Berkat usahanya tersebut, berbagai masyarakat animisme di pedalaman-pedalamn tanah Batak banyak yang mengungkapkan niat mereka untuk memeluk Islam tanpa ajakan dan paksaan dari siapapun.

Di akhir hidupnya dia membuka sebuah forum diskusi dan pengajian di rumahnya yang selalu dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dan mantan mahasiswanya dari berbagai penjuru antara lain Barbaran, Longat, Gunung Barani, Bunung Manaon, Adian Jior, Penyabungan dan lain-lain.


H. MAHMUD FAUZI SIDEMPUAN: MENGISLAMKAN RIBUAN BATAK TOBA

Lahir di Padang Sidempuan pada tahun 1896 dari ayah bernama H. Muhammad Nuh dan Ibunya Hajjah Aisyah. Ibunya Hajjah Aisyah merupakan salah satu intelektual perempuan Batak yang mempunyai jama'at perempuan. Eksistensi Aisyah membuat orang-orang Batak mengenalnya dengan gelar Ompung Guru.

Dilahirkan dengan didikan sang ibu dengan nuansa agama membuatnya cenderung untuk menghayati pendidikan agama. Hal itu dilakukannya dengan berguru kepada Syeikh Abdul Hamid Hutapungkut yang menjadi satu-satunya tokoh Islam di sekitar kawasan tersebut.

Atas kehendaknya sendiri, dia berangkat ke Hutapungkut, center of excelent, dan belajar langsung dengan Syeikh Hutapungkut selama tiga tahun. Pada tahun 1910 dia berangkat ke Mekkah atas dorongan gurunya tersebut.

Ibunya, merupakan pendukung utama pendidikannya di Mekkah. Pada perang dunia pertama dia dikirimi uang sebesar dua puluh lima rupiah untuk biaya kehidupan sehari-hari di Mekkah. Namuan setelah PD I tersebut dia kembali ke Tanah Air pada tahun 1919.

Selama di Tanah Air dia menjadikan Batang Toru sebagai pusat pengembangan pendidikannya. Pada tahun 1926, atas kharisma dan kewibawaannya banyak warga Batak Toba dari pedalaman Tanah Batak yang datang mendengarkan ceramah agama yang diberikannya. Bahkan banyak diantaranya, khususnya dari Porsea dan Balige yang menetap dan mendirikan pemukiman di Batang Toru agar dapat menjadi bagian dari lembaga pendidikan tersebut.

Muhammad Fauzi juga terlibat dalam mengislamkan orang-orang Toba yang berduyun-duyun mendatangi rumah kediamannya untuk menyampaikan keinginan mereka memeluk agama ini.

Bagi para muallaf Toba yang datang dalam jumlah besar ini, Muhammad Fauzi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.

Para Muallaf Toba tersebut, di zaman kemerdekaan banyak yang menjadi pegawai di kementrian agama di Republik Indonesia yang baru berdiri. Selain kegiatan dakwah dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Muhammad Fauzi juga banyak menulis buku namun sekarang ini sudah banyak yang hilang. Di antaranya yang dapat dicatat adalah Buku 'Menuju Mekkah-Madinah-Baitul Maqdis'.

Jabatan organisasi yang diembannya terakhir sebelum meninggal dunia adalah Rois Suriyah NU di Batang Toru. Selain itu dia juga banyak mewakafkan hartanya untuk jalan dakwah.


SYEIKH BALEO NATAL: MENGINSAFKAN PARA RAJA

Namanya Abdul Malik ayahnya bernama Abdullah dari Muara Mais. Dia dilahirnya pada tahun 1825.

Setelah kembali dari Mekkah, Yang Dipertuan Huta Siantar, Penyabungan meminta Syeikh Abdul Fattah untuk menjadi guru agama di kerajaannya. Namun Syeikh Abdul Fattah tidak dapat memenuhinya karena berbagai kesibukannya dan kemudian menunjuk Syeikh Abdul Malik yang baru kembali dari Mekkah untuk mengisi jabatan tersebut.

Syeikh Abdul Malik berusaha membangun masyakat di Huta Siantar. Karismanya membuantnya banyak di datangi para mahasiswa dari Huta Siantar dan Penyabungan. Dengan usahanya yang pelan tapi pasti beberapa keluarga raja-raja di wilayah tersebut akhirnya diajaknya untuk menghidupkan aktivitas dan kegiatan mesjid. Mula-mula hal tersebut ditentang dan akhirnya mendapat sambutan baik dari elit aristokrat tersebut.

Atas jasa-jasanya tersebut, Syeikh Abdul Malik yang masih sangat belia, dinikahkan dengan puteri Huta Siantar dan diapun menetap di sana. Untuk kedua kalinya, dia berangkat ke Mekkah kali ini beserta keluarganya melalui pelabuhan Natal yang saat itu merupakan pelabuhan internasional yang sangat ramai.

Sekembalinya ke Tanah Air, kharismanya semakin meluas sehingga namanya semakin dikenal dan menjadi acuan dalam argumentasi agama mulai dari Padang Sidempuan, Sipirok, Padang Lawas dan Dalu-dalu. Dengan pengalaman tersebut dia kemudian digelar Baleo Natal sebagai bagian dari usahanya mengajarkan Islam secara tadrij alias berangsur-angsur.

Hubungan mesra dengan penguasa atau raja-raja Huta Siantar bukan tanpa masalah. Berbagai masalah terjadi antara Umara dan Ulama tersebut. Namun hal itu dapat diatasinya dengan langkah-langkah yng tidak merusak kedua kelompok elit tersebut. Para raja semakin kagum dan takjub terhadapnya karena Syeikh juga mempunyai kemampuan dalam pengobatan.

(1). Sumber: http://porseauli.blogspot.com/2006/12/sejarah-cendikiawan-batak.html
Advertisement